Rambu Merah Taure dan Satu Buah Permen

Ada sekelompok orang berdiri di depan gerbang Gong Perdamaian Ambon, di antara mereka ada seorang yang begitu menarik dipandang. Celananya berwarna coklat panjang, dia memakai high heels mungkin setinggi 7 cm. Bajunya juga berwarna coklat dengan begitu ketat. Saking ketatnya, perut, dada, dan bagian pahanya begitu menonjol dari belakang baju coklatnya tersebut. Dan beta tetap memperhatikan dengan begitu “ketat”.

Panjang rambutnya hampir sampai di pinggul. Oh iya, rambutnya juga berwarna coklat “merah taure", kata orang Ambon. Dia lalu membuat bando dari pita berwarna merah putih dengan begitu manisnya. Lalu kita turun ke bagian wajahnya. Dia memakai bulu mata, entah anti apa, yang begitu menarik. Di pipinya tertempel bedak agak tebal, tak lupa juga lipstik merah menghiasi bibirnya. Di bagian lehernya tergambar tato yang membuat dia sedikit terlihat nakal, tapi tetap berakal. Beta juga tidak lupa tangan dan jari tanganya yang dihiasi dengan perhisaan yang menawan.

Kemudian di tengah kerumunan tersebut dengan tangannya yang lembut dia mengeluarkan sebuah gula-gula (permen) dari tasnya yang berwarna hitam. Yang beta ingat, dia mengambil gula-gula mentos yang berwarna putih, yang ketika dimakan terasa segar di dalam mulut, sama seperti dia. Lalu dia merobek bungkusan gula-gula mentos tersebut, dan membuka bibir merahnya dan memasukan gula-gula tersebut ke dalam mulutnya. Dia lalu membuang bungkusan gula-gula tersebut ke dalam tasnya, sayangnya bungkusan tersebut tidak sempat masuk ke dalam tasnya, tapi jatuh ke atas aspal basah. Beta tetap memperhatikan dia.

Entah angin apa, dengan wajahnya yang agak kesal, mungkin karena lelah berdiri, dia lalu menunduk ke arah aspal, dan mengambil bungkusan gula-gula tersebut dan memasukannya ke dalam tas. Meskipun ada bungkusan kecil dari gula-gula itu yang dia tidak mengangkatnya, tapi aku seketika terkesima dan terpanah. Aku terpanah.

Selepas itu, orang banyak yang sejak awal datang telah memperhatikan dia dan teman-temannya. Ada yang meminta foto, ada yang menatap dengan kasar, ada juga turut mentertawakan mereka, baik karena mereka lucu ataupun karena mereka dianggap hina. Entahlah. Yang aku ingat, dia dan teman-temannya dikatakan oleh masyarakat umum sebagai wadam, waria, bencong, atau banci. Beta sendiri tidak tertarik mengatakan dia dan teman-temannya demikian, beta lebih senang mengatakan dia dan teman-temannya adalah orang-orang yang berbeda. Mungkin dia hanya masih dalam pencariannya pada kehidupan. Yah begitulah dia.

Dia berbeda, sama seperti beta juga. Dia unik, sama seperti beta juga. Dia berani, sama seperti beta juga. Dia buang sampah pada tempatnya, sama seperti beta juga. Dia tahu jaga lingkungan, sama seperti beta juga.

No comments:

Post a Comment