Di Pulau Nusa laut, Negeri Akoon, di bawah tebing
bebatuan karang, aku menghabiskan hampir 17 jam bersama satu keluarga nelayan yang begitu bahkan terlalu sederhana. Memang keluarga itu masih
mempunyai pertalian darah dengan aku, sehingga aku berkesempatan untuk
menghabiskan waktuku dengan mereka. Keluarga itu terdiri dari seorang lelaki tua dan perempuan tua serta tiga
orang anak lelaki dan dua orang anak perempuan. Salah satu dari anak-anak itu
adalah Alvian, bocah kecil, berambut ikal
berwajah mirip dengan orang Belanda yang ditampar oleh perempuan tua itu. Saat
dia ditampar aku tidak dapat berbuat apa-apa selain menegor perempuan tua itu.
Setelah kejadian itu aku teringat dulu aku juga dididik sama seperti dia. Dan
mungkin karena itu juga aku tidak terkejut melihat hal itu terjadi.
Tinggal di kampung yang masih sangat sederhana terasa
begitu menyenangkan bahkan menggembirakan.
Aku bisa lari dari keributan dan kesibukan perkotaan. Aku bisa lari menuju
ketenangan. Bahkan di tempat aku tinggal sinyal telepon pun sulit didapat, apalagi sinyal internet. Tidak mendapatkan sinyal
mengajarkan aku untuk tidak terlalu menghabiskan waktu dengan bermain handphone dan menjadi manusia yang lebih
mengangumi semesta
alam dan kehidupan.
Malam pun datang melingkupi
kami. Sebagai keluarga nelayan datangnya malam adalah pertanda pekerjaan telah
menunggu. Aku pun menyempatkan diri untuk pergi melaut. Perahu pun mengambang terbawa
arus laut. Di bawah bulan dan beberapa bintang sambil melihat petir yang
bermain di ujung laut, aku menarik seekor sontong
(sotong) yang bercahaya dari dalam air laut. Rasanya sungguh menggembirakan
dapat menangkap seekor sontong. Lalu
aku berpikir, pasti menggembirakan dapat menjadi seorang nelayan. “Cita-cita!?”
Benakku. Setelah berjam-jam di laut dan tangkapan kami sudah cukup, kami lalu
kembali ke rumah. Di rumah, yang mungkin bagi sebagian orang kota jika
melihatnya lebih mirip gubuk, sederhana itu, aku menghabiskan malam penuh
gatal. Tidur di dekat pantai dan di tengah hutan tanpa kelambu dan selimut
seadanya membuat banyak serangga masuk seenaknya tanpa minta permisi. Tapi akhirnya
aku terlelap juga. Paginya aku terbangun dan disambut dengan secangkir kopi
panas dan tidak lupa beberapa bisul yang gatal.
Saat hari masih pagi, sementara aku mempersiapkan
barang untuk kembali ke kota Ambon, saat udara masih sangat segar, harum wangi
pala serta asap tungku memasuki rongga dadaku, “Aku harus mencari sinyal”.
Memang karena suatu alasan sehingga aku harus pergi mencari sinyal. Lalu Alvian
bocah kecil itu menawarkan diri untuk mengantarkan aku ke arah pantai tempat
sinyal katanya bisa didapatkan. Namun, sesampai di sana entah mungkin karena
Nusa Laut masih daerah yang terpencil atau aku yang sial sehingga sinyal pun tidak
didapat. Kemudian kami berdua berjalan kembali ke gubuk itu.
Dalam perjalanan aku tertarik untuk mewawancarai
Alvian. “Vian kalau sudah besar ingin jadi apa?” Aku bertanya. Pertanyaan yang entah
mungkin sudah menjadi pertanyaan wajib bagi setiap orang dewasa saat dia
bertanya untuk seorang anak kecil yang baru dikenal. “Hmm, beta mau jadi
polisi om Rico!” Jawab Alvian. Jawaban kebanyakan anak
selain dokter, guru dan tentara saat ditanya tentang cita-cita.
“Oh ya? Kenapa ingin jadi polisi?” Tanyaku kembali. Pertanyaan wajib kedua. “Hmm, supaya dapat uang
banyak!” jawab dia. Saat dia menjawab seperti itu, aku berpikir mungkin karena
dia masih kecil sehingga menganggap seakan-akan uang itu segalanya, bisa dipakai
untuk beli mainan, permen, dan sebagainya. Lalu aku menasihati dia bahwa uang
itu bukan segalanya, seperti orang dewasa lainnya, aku
bersikap sok bijaksana kepada dia.
Aku kemudian bertanya lagi “Memangnya kalau Vian
punya uang banyak mau untuk apa?” “Hmmm, kalau beta punya uang banyak, beta mau beli beras, beli panci baru, beli
basi baru (tempat makanan), bayar bon (utang)!” jawab dia kepadaku. Di bawah
langit biru, di atas batu karang, ditemani harum pantai, aku terdiam sejenak,
dan. Dan aku terinspirasi. Lalu aku teringat dulu waktu kecil aku ingin menjadi
pilot hanya karena ingin terbang dengan helikopter. Aku tidak pernah berpikir
seperti Alvian. Sejenak aku menjadi malu.
Meskipun malu kepada Alvian, tetapi karena aku begitu
terinspirasi kepada bocah enam tahun ini, aku kembali bertanya “kenapa Vian mau
beli semua yang tadi?” lalu dengan lugu dan tulus dia menjawab “yah, beli
saja.” Entah mengapa dia menjawab seperti, tapi begitulah anak kecil, jawaban
mereka selalu penuh tulus dan keluguan tanpa dikotori oleh kemunafikan pikiran.
Dan aku semakin terinspirasi.
“Vian kenapa tidak membeli mainan saja?” tanyaku
lagi.”hmm, nanti saja
baru beli toh.” Jawab dia. Dia tidak
terlalu peduli akan mainan seperti kebanyakan anak kecil lainnya. Entah,
meskipun dididik dengan cara yang kasar,
Alvian tetap menjadi seorang anak kecil yang begitu jujur dan tulus. Entah dia
di masa akan datang nanti akan menjadi Polisi atau tidak, atau aku yang menjadi
seorang nelayan, entalah.
Namun, aku tetap percaya dia telah menjadi
seorang yang begitu menginspirasi.
Lalu aku mengendong dia tepat di atas pundaku sambil
kami berjalan dan tetap bercanda ditemani semesta dan ceritanya serta cita-cita kami berdua.
No comments:
Post a Comment