Cita-Cita?

Prangg!” Sebuah gelas penuh kopi panas jatuh dari atas kursi, lalu pipi merah seorang bocah enam tahun tertampar tangan dari seorang perempuan tua yang sudah ompong giginya. Padahal Si Bocah hanya ingin membantu perempuan tua itu dan mungkin pada saat itu dia kurang berhati-hati. Tepat di tanggal 4 januari 2018 pipi bocah itu merah berbentuk jari tangan. Tepat di tanggal itu pula bocah itu berulang tahun yang keenam. Sungguh suatu pagi yang begitu pedih bagi hatinya dan sakit bagi pipinya.

Di Pulau Nusa laut, Negeri Akoon, di bawah tebing bebatuan karang, aku menghabiskan hampir 17 jam bersama satu keluarga nelayan yang begitu bahkan terlalu sederhana. Memang keluarga itu masih mempunyai pertalian darah dengan aku, sehingga aku berkesempatan untuk menghabiskan waktuku dengan mereka. Keluarga itu terdiri dari seorang lelaki tua dan perempuan tua serta tiga orang anak lelaki dan dua orang anak perempuan. Salah satu dari anak-anak itu adalah Alvian, bocah kecil, berambut ikal berwajah mirip dengan orang Belanda yang ditampar oleh perempuan tua itu. Saat dia ditampar aku tidak dapat berbuat apa-apa selain menegor perempuan tua itu. Setelah kejadian itu aku teringat dulu aku juga dididik sama seperti dia. Dan mungkin karena itu juga aku tidak terkejut melihat hal itu terjadi.

Tinggal di kampung yang masih sangat sederhana terasa begitu menyenangkan bahkan menggembirakan. Aku bisa lari dari keributan dan kesibukan perkotaan. Aku bisa lari menuju ketenangan. Bahkan di tempat aku tinggal sinyal telepon pun sulit didapat, apalagi sinyal internet. Tidak mendapatkan sinyal mengajarkan aku untuk tidak terlalu menghabiskan waktu dengan bermain handphone dan menjadi manusia yang lebih mengangumi semesta alam dan kehidupan.

Malam pun datang melingkupi kami. Sebagai keluarga nelayan datangnya malam adalah pertanda pekerjaan telah menunggu. Aku pun menyempatkan diri untuk pergi melaut. Perahu pun mengambang terbawa arus laut. Di bawah bulan dan beberapa bintang sambil melihat petir yang bermain di ujung laut, aku menarik seekor sontong (sotong) yang bercahaya dari dalam air laut. Rasanya sungguh menggembirakan dapat menangkap seekor sontong. Lalu aku berpikir, pasti menggembirakan dapat menjadi seorang nelayan. “Cita-cita!?” Benakku. Setelah berjam-jam di laut dan tangkapan kami sudah cukup, kami lalu kembali ke rumah. Di rumah, yang mungkin bagi sebagian orang kota jika melihatnya lebih mirip gubuk, sederhana itu, aku menghabiskan malam penuh gatal. Tidur di dekat pantai dan di tengah hutan tanpa kelambu dan selimut seadanya membuat banyak serangga masuk seenaknya tanpa minta permisi. Tapi akhirnya aku terlelap juga. Paginya aku terbangun dan disambut dengan secangkir kopi panas dan tidak lupa beberapa bisul yang gatal.

Saat hari masih pagi, sementara aku mempersiapkan barang untuk kembali ke kota Ambon, saat udara masih sangat segar, harum wangi pala serta asap tungku memasuki rongga dadaku, “Aku harus mencari sinyal”. Memang karena suatu alasan sehingga aku harus pergi mencari sinyal. Lalu Alvian bocah kecil itu menawarkan diri untuk mengantarkan aku ke arah pantai tempat sinyal katanya bisa didapatkan. Namun, sesampai di sana entah mungkin karena Nusa Laut masih daerah yang terpencil atau aku yang sial sehingga sinyal pun tidak didapat. Kemudian kami berdua berjalan kembali ke gubuk itu.

Dalam perjalanan aku tertarik untuk mewawancarai Alvian. “Vian kalau sudah besar ingin jadi apa?” Aku bertanya. Pertanyaan yang entah mungkin sudah menjadi pertanyaan wajib bagi setiap orang dewasa saat dia bertanya untuk seorang anak kecil yang baru dikenal.Hmm, beta mau jadi polisi om Rico!” Jawab Alvian. Jawaban kebanyakan anak selain dokter, guru dan tentara saat ditanya tentang cita-cita.

Oh ya? Kenapa ingin jadi polisi?” Tanyaku kembali. Pertanyaan wajib kedua.Hmm, supaya dapat uang banyak!” jawab dia. Saat dia menjawab seperti itu, aku berpikir mungkin karena dia masih kecil sehingga menganggap seakan-akan uang itu segalanya, bisa dipakai untuk beli mainan, permen, dan sebagainya. Lalu aku menasihati dia bahwa uang itu bukan segalanya, seperti orang dewasa lainnya, aku bersikap sok bijaksana kepada dia.

Aku kemudian bertanya lagi “Memangnya kalau Vian punya uang banyak mau untuk apa?” “Hmmm, kalau beta punya uang banyak,  beta mau beli beras, beli panci baru, beli basi baru (tempat makanan), bayar bon (utang)!” jawab dia kepadaku. Di bawah langit biru, di atas batu karang, ditemani harum pantai, aku terdiam sejenak, dan. Dan aku terinspirasi. Lalu aku teringat dulu waktu kecil aku ingin menjadi pilot hanya karena ingin terbang dengan helikopter. Aku tidak pernah berpikir seperti Alvian. Sejenak aku menjadi malu.

Meskipun malu kepada Alvian, tetapi karena aku begitu terinspirasi kepada bocah enam tahun ini, aku kembali bertanya “kenapa Vian mau beli semua yang tadi?” lalu dengan lugu dan tulus dia menjawab “yah, beli saja.” Entah mengapa dia menjawab seperti, tapi begitulah anak kecil, jawaban mereka selalu penuh tulus dan keluguan tanpa dikotori oleh kemunafikan pikiran. Dan aku semakin terinspirasi.

“Vian kenapa tidak membeli mainan saja?” tanyaku lagi.”hmm, nanti saja baru beli toh.Jawab dia. Dia tidak terlalu peduli akan mainan seperti kebanyakan anak kecil lainnya. Entah, meskipun dididik dengan cara yang kasar, Alvian tetap menjadi seorang anak kecil yang begitu jujur dan tulus. Entah dia di masa akan datang nanti akan menjadi Polisi atau tidak, atau aku yang menjadi seorang nelayan, entalah. Namun, aku tetap percaya dia telah menjadi seorang yang begitu menginspirasi.

Lalu aku mengendong dia tepat di atas pundaku sambil kami berjalan dan tetap bercanda ditemani semesta dan ceritanya serta cita-cita kami berdua.

No comments:

Post a Comment