Tepat jam 23.13 WIT, kedua kaki beta akhirnya
beristirahat. Setelah hampir 2 jam perjalanan dari Kampus, Jembatan Merah
Putih, Kebung Cengkeh, Ahuru, dan akhirnya sampai di tempat paling nyaman di
dunia, rumah.
Sebelumnya perkenalkan beta adalah seorang
PERJAKA. Tulen loh! Sungguh PERJAKA
tulen, iya PERJAKA, “PERia peJAlan KAki.”
Beta termasuk orang yang senang sekali jalan kaki karena berbagai alasan.
Salah satunya, karena beta dapat menikmati pemandangan dengan begitu pelan serta
tenang.
Dan pada malam itu, kebetulan beta baru
saja selesai kerja tugas kelompok dengan teman-teman, hampir jam 10 malam. Saat
itu kampus Unpatti sudah sangat sepi,
hanya ada beberapa orang/mahasiswa yang masih tinggal untuk numpang Wifi.
Karena salah satu beta teman perempuan harus pulang diantar. Jadi kami
bersama-sama mengantar dia, sampai di tempat yang dia rasa telah aman. Beta teman
perempuan ini tinggalnya di dekat Jembatan Merah Putih (JMP). Setelah beta
bersama teman-teman mengantar dia sampai di JMP, lalu kemudian kami berpisah.
Setelah itu beta berpikir; “ini beta mau
pulang pakai apa juga?” uang cuma sisa dua ribu rupiah saja (kasihannya, hari
ini lumayan agak sial) dan sudah larut malam juga.” Lalu setelah perjolakan
dalam pikiran, beta memutuskan untuk berjalan kaki. Awalnya hanya karena memang
tidak ada uang sama sekali (dua ribu doang bro!). Kemudian setelah sampai di
tengah-tengah JMP beta berhenti sejenak, bukan mau lompat bunuh diri, bukan,
tapi untuk menatap awan, titik-titik warna, dan ketinggian yang buat beta
lumayan takut, tapi begitu menawan. Dalam tatapan itu, beta terpikir; “mengapa
beta tidak jalan kaki saja sampai di rumah, tetapi melewati daerah-daerah yang
beta belum pernah lalui dengan jalan kaki. Terutama daerah-daerah yang masih
penuh dengan prasangka untuk beta dan sebagian orang.” Setelah sampai di ujung
JMP, beta masih berpikir panjang, dan akhirnya
beta memutuskan untuk ikut pikiran yang tadi. Terjadilah perjalanan panjang dan
singkat itu.
Ternyata memang capek juga, bahkan beta sempat
mau menyerah dan takut untuk melanjutkan. Tapi, keep fight! Memang sih ada tiga hal yang sempat membuat beta takut
sampai ingin menyerah untuk tidak melanjutkan perjalan. Hal yang pertama yang
sempat menganggu beta itu, saat beta sampai di Kampung Kisar, memang jujur beta
sangat takut saat di situ. Jujur menyeramkan! Bahkan beta sempat mau lari.
Mengapa beta demikian takut? Soalnya saat di tanjakan, ada sesuatu. Tenang,
bukan kuntilanak, bukan juga orang-orang jahat. Tetapi ada seekor anjing.
Serius teman-teman saat anjing itu mulai mengikuti beta, yang ada dalam beta
hati, cuma: “Tuhan Yesus tolong beta, ini kalau beta digigit, habislah diriku,
tolonglah Tuhan (memang sih karena trauma pernah digigit anjing juga)”,
alhamdulliah, beta diselamatkan dari ketakutan yang pertama.
Ketakutan yang kedua adalah, saat beta
perut sudah lumayan berbunyi, bahkan kaki sudah mulai lelah untuk melangkah.
Tapi, beta bersyukur karena tekad yang kuat untuk menyelesaikan perjalanan
singkat ini. Akhirnya beta tetap bertahan sekalipun lapar dan lelah telah
membunyikan gendang perang siap menyerang.
Ketakutan
yang ketiga, dan yang paling bikin beta galau. Sebenarnya bukan takut
juga sih, tapi lebih seperti ngangguan yang menyerang kaum lelaki yang sendirian.
Ngangguan itu adalah karena melihat banyak pasangan muda yang bermesraan di
tengah malam. Maklum, jomblo jadi bapernya tinggi. Serius teman-teman, kadang
galau juga sih kalau lihat pasangan yang bermesraan. Tapi ya sudah, tetap jalani,
itu cuma ngangguan yang tidak terlalu penting, tapi, “sakitnya tuh di sini!”
Sebenarnya beta ada kesempatan untuk
meminta tumpangan. Tapi entah kenapa, betapa hati terasa berat untuk meminta
bantuan. Bukan karena ngengsi, sombong atau apa. Hanya karena beta yakin ada
sesuatu yang keren, yang akan terjadi nanti di perjalanan.
Melewati kampung Kisar, oh iya, jika ada
belum tahu di mana itu Kampung Kisar, mari beta beri tahu. Kampung Kisar berada
di naik-naik SMA 13 Ambon. Dari cerita yang beta dengar, dulunya banyak orang
Kisar yang tinggal di situ. Jadi dinamakan Kampung Kisar. Daerah ini juga
menjadi korban segregasi akibat konflik. Tetapi yang menarik, masih ada
beberapa orang Kristen yang tinggal di situ yang mayoritas masyarakatnya
beragama Islam. Dan beta tetap bersyukur karena hal itu.
Setelah berhasil melalui Kampung Kisar, sampailah
di daerah Kebun Cengkeh dan beta tetap berjalan. Dari cerita-cerita yang beta
dengar, bahkan diberitahu (oleh teman-teman Kristen), kalau lewat daerah itu
(yang mayoritasnya beragam Islam) harus hati-hati. Karena mereka sering, bahkan
selalu memukul, menganiaya bahkan ada yang bilang membunuh yang bukan Muslim.
Prasangka ini terus tumbuh dalam beta diri dari kecil dan sebagian besar orang
Kristen di Ambon, sampai sekarang. Prasangka ini kemudian membuat lahirnya
istilah “dong pung daerah” dan “katong pung daerah.” Jika seorang yang
Kristen/Muslim pergi ke daerah yang bukan mayoritas agamanya. Teman-teman atau
orang di sekitar dia (yang agamanya sama) akan berkata seperti yang tadi di
atas. Hal ini menimbulkan ketakutan yang tidak sama sekali beralasan. Dan Hal yang beta sesalkan adalah, hanya karena
perbuatan satu atau dua orang di suatu daerah, lalu dikatakan, seakan-akan itu
perbuatan semua orang di daerah tersebut. Bersuaralah jiwa-jiwa yang bosan
dengan penindasan!
Setelah sampai di kebun Cengkeh, tidak sama
sekali beta mendapatkan ngangguan, bahkan ancaman sekalipun, dari orang siapapun.
Baik berhijab, berniqab, berjenggot, bahkan bertelanjang dada juga. Tidak sama
sekali beta dingganggu, bahkan kadang beta dibalas dengan senyuman saat menyapa
“selamat malam.” Kadang juga beta
menumpang beristirahat di tempat ojek dan mereka mempersilahkan dengan senang
hati. Mereka yang tersenyum kepada beta, mereka yang mempersilahkan beta
beristirahat, adalah mereka yang sama. Sama seperti saat beta berjalan di
daerah yang mayoritasnya beragama Kristen. Iya! mereka semua sama. “katong
samua sama!”, sejenak prasangka yang beta sangka dulu hilang saat melewati Kebun
Cengkeh.
Lalu, perjalanan singkat pun berlanjut.
Karena beta rumah di daerah Karang Panjang, tepatnya di Lahani. Beta harus
melewati turun-turun Gadihu, entah mengapa namanya “Gadihu” beta juga kurang
tahu yang pasti. Karena tidak ada penunjuk jalan dan cerita yang beta dengar.
Tapi, itu bukan persoalan. Yang menjadi menjadi persoalan adalah saat beta
berjalan menuruni jalan raya yang begitu tenang. Apalagi ada titik warna-warni
yang memberi kesan pelangi dari belakang perbukitan, seperti fatamorgana yang
datang begitu menawan, begitu
menenangkan. Saat menikmati itu, tiba-tiba ada seorang lelaki berbaju hitam,
bercelana hitam, bermotor hitam, sayang kulitnya tidak hitam, yang kulit hitam
itu beta. Dia berhenti di depan beta, kira-kira jaraknya hampir 7 meterlah.
Lalu dia berkata: “kaka mau ke mana?” Awalnya beta sempat tidak menghiraukan
dia, bukan karena beta ngengsi, cuma beta seakan menguji, ini orang mau
menolong beta dengan tulus atau tidak? Tapi dia tetap menanyakan beta, seakan
memaksa, akhirnya beta datang ke arah dia, sambil berkata: “beta mau ke bawah
kaka, ke Ahuru!” lalu Dia menjawab: “mari kaka, beta antar ke bawah, barang
beta mau ke bawah lai.” Saat itu beta langsung tersenyum. Karena apa yang beta
rencanakan tadi di awal perjalanan singkat ini. Lalu dia pun mengantar beta.
Dalam perjalanan, di atas motor, kami berdua berbincang. Ada beberapa
pertanyaan yang beta ingat, awalnya dia tanyakan, kenapa beta pulang jalan
kaki, lalu beta bilang, beta uang sisa dua ribu di dalam saku baju, maklum
mahasiswa. Kemudian dia tanya lagi, “kaka berjalan dari Darusallam?” Pikirnya
dia beta dari Kampus Darusallam di Wara. Lalu beta jawab, beta kuliah di
Unpatti. Dia agak kaget, mungkin dalam dia pikiran “ini anak hidup kasihan
sekali!” lalau dia bilang lagi, “itu biasa kaka, beta juga dulu kuliah sering
pulang jalan kaki lai.”
Sudah di dekat daerah Ahuru, dia kembali
bertanya: “barang kaka tinggal di Ahuru?” lalu beta bilang: “beta tinggal di
Karpan, Lahani, kaka” mungkin saat itu dia langsung sadar, kalau beta bukan
beragama Islam. Memang dia agak kaget. Lalu beta bilang lagi : “kaka beta
sebenarnya jalan kaki alasannya juga karena selama ini, banyak orang Kristen
yang masih takut untuk jalan melewati daerah yang yang mayoritas Muslim. Jadi,
beta jalan ini, supaya saat beta kembali ke beta lingkungan, beta mau cerita
untuk mereka, kalau apa yang mereka sangka selama ini, itu salah!” Dia kemudian
merespon dengan begitu tenang: “iya kaka, kita juga yang Muslim takut kalau ke
daerah Kristen, sebaliknya juga begitu, jadi kita (Muslim/Kristen) sama-sama
takut.” Mendengar hal itu, beta langsung bilang: “betul kaka, kalau kita
sama-sama takut, kapan Ambon maju?”
Oh iya, setelah tadi dia mendengar beta
tinggal di Karpan, Lahani. Dia kemudian menawarkan untuk mengantar beta sampai
di Lahani. Dan saat itu dalam beta diri cuma, wow! Ini nyata? Mungkin terdengar
biasa. Tapi yang tidak biasanya adalah, karena waktu dia dengar beta tinggal di
Karpan, dia tidak lalu menurunkan beta saat itu juga, atau di Ahuru, tapi
mengantar beta sampai di tempat tujuan. Menarik kan? Sebenarnya, banyak juga
beta teman-teman Muslim, yang mengalami hal yang sama dengan apa yang beta
alami. Dan saat itu beta yakin, damai itu alami.
Mungkin apa yang beta alami tidak terlalu “wow”
bagi orang lain. Tapi beta yakin suatu hal yang besar selalu dimulai dengan
langkah kecil. Itu yang membuat perjuangan menjadi menarik dan tidak
membosankan. Dan memang benar, jika ingin sesuatu yang tidak biasa, ya harus
berbuat sesuatu yang tidak biasa, supaya hidup jangan biasa-biasa saja. Karena
hidup yang biasa-biasa saja, sama membosankannya dengan tayangan televisi yang
hanya untuk kepentingan (elit-elit)
saja.
Akhirnya beta sampai di Lahani dengan
selamat sentosa. Oh iya, beta belum sempat perkenalkan lelaki berbaju hitam, bercelana
hitam, dan bermotor hitam. Namanya Andi tinggal di Rinjani. Kalau kamu yang
membaca ini mengenal dia, salam yah.
Dan sekali lagi untuk semua teman-teman Non
Violent Study Circles mari tetap “Melestarikan Perdamaian dari Kampus ke
komunitas” dan untuk teman-teman lainnya, mari, damai itu alami. Petiklah satu
bunga damai, tanam di dalam taman hatimu. Dan rawatlah hingga mekar (Fajar Merah-Aku dan Kamu).
Ambon, 8 Agustus 2018
No comments:
Post a Comment