Prasangka, Adat, dan Konflik Maluku

“Itu dong pung daerah (itu daerah mereka), ini katong pung daerah (ini daerah kita).” Prasangka. Mungkin itu adalah akibat yang masih terasa dan dipraktekkan sampai sekarang akibat dari konflik Maluku tahun 1999. Bukan itu saja, bahkan sebagian besar korban konflik Maluku juga telah mensegregasi diri mereka sendiri, termasuk saya juga. Kata “daerah” di atas bukan cuma menunjukkan pada suatu wilayah tempat tinggal, tetapi juga menunjukkan pada pribadi orang. Maksudnya bahwa kebanyakan korban konflik Maluku telah mensegregasikan diri mereka terhadap pribadi orang. Seseorang (korban konflik) akan lebih merasa aman jika ia berada di antara orang-orang yang beragama sama dengan dia, karena “daerah” yang tadi. Hal ini bukan hanya terjadi kepada para korban konflik Maluku yang sudah dewasa dan mengalami serta terlibat dalam konflik pada saat itu saja, bahkan sampai anak kecil pun sudah mensegregasi diri mereka. Padahal mereka tidak pernah merasakan konflik tersebut secara langsung, bahkan mereka tidak pernah mendengar teriakan “Allahhuakbar” sebelum bom rakitan dan batu dilemparkan atau doa dengan tangisan kepada Tuhan Yesus sebelum pergi untuk menyerang atau ketika diserang.

Anak kecil itu adalah saya dan semua anak-anak lain yang dibesarkan dengan dan dalam prasangka. Saya dididik untuk tidak gampang percaya bahkan menganggap tidak baik kepada mereka yang beragama Islam. Hal ini bahkan hampir menjadi suatu “sistem pendidikan/kurikulum” di kalangan masyarakat Maluku khususnya kota Ambon. Berbicara tentang sistem pendidikan, saya memasuki dunia pendidikan sekolah dasar pada tahun 2002 dikala masih banyak bom rakitan yang diledakan.

Selama masa saya bersekolah dari tahun 2002 sampai tahun 2008 di Sekolah Dasar Negeri 29 Ambon, dari kelas 1 sampai kelas 6, saya hanya mengenal seorang siswi Muslim yang sempat bersekolah bersama-sama dengan saya. Itu pun adik kelas saya. Dia menjadi begitu dikenal di sekolah, selain karena siswi baru tetapi karena dia juga bergama Islam. Namun saya tidak begitu mengenal dia secara pribadi. Dia juga bersekolah tidak terlalu lama karena dia berpindah ke sekolah lain. Entah kenapa, saya juga tidak pernah berpikir untuk bertanya kepada dia pada saat itu. Selama masa bersekolah saya tidak pernah berteman dengan anak-anak yang beragama Islam. Bukan karena tidak mau, tetapi yah begitulah, kembali lagi ke “kurikulum” dan segregasi wilayah akibat konflik. Jika melihat perempuan yang menutup kepala mereka dengan jilbab bahkan niqab atau lelaki berjanggut panjang dengan topi berwarna putih khususnya bagi mereka yang berpakaian “putih-putih hijau”, maka saya akan melihat itu sebagai hal yang “asing”. Asing bagi kehidupan saya. Hal ini bukan hanya terjadi pada saya saja, tetapi juga teman-teman (Kristen) yang lain. Kami akan melihat “asing” terhadap orang-orang seperti itu. Tetapi entah kenapa meskipun saya melihat mereka dengan tatapan “asing”, namun ada rasa penasaran yang membuat saya ingin lebih tahu lagi tentang mereka.

Kemudian setelah lulus SD pada tahun 2008, saya melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 6 Ambon. Selama tiga tahun, di SMP 6 ini, untuk pertama kali saya mempunyai teman Muslim. Muhamad dan Rifandika, nama mereka berdua. Saya sangat ingat tentang Muhamad. Saya mengenal dia di kelas 7, dia berasal dari Maluku tinggal di daerah Batu Merah - sekarang adalah daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam - Kota Ambon. Anaknya sembrono, keras kepala, dan susah dimengerti. Banyak teman-teman (Kristen) saya tidak terlalu menyukai dia-mungkin karena sifatnya atau karena “kurikulum” yang tadi, saya juga tidak tahu yang pasti. Dan hanya saya saja yang selalu bersama-sama dengan dia, di kantin, di dalam kelas, di mana saja di dalam SMP 6 saat itu. Selama setengah tahun saya mengenal Muhamad, memang saya tidak terlalu dekat dan hanya dia sendiri saja yang beragama Islam di dalam kelas. Dan saya juga adalah satu-satunya murid di dalam kelas yang dekat dengan dia. Tetapi keinginan saya untuk mengenal dia lebih dekat lagi harus terhenti, karena saya harus berpindah ke kelas lain. Sejak saat itu saya jarang bertemu dengan dia. Tapi saya selalu bersyukur setiap kali bertemu dengan dia, entah kenapa. Pernah sekali waktu di sekolah saya bertemu dengan dia, saat itu dia sementara dihukum oleh gurunya berdiri di depan pintu kelas. Saya sempat bercanda dengan dia, meskipun dia dalam keadaan dihukum tapi dia tetap tertawa. Semenjak saat itu juga saya sudah tidak pernah bertemu dengan dia lagi.

Sementara Rifai adalah teman baru saya setelah pindah kelas. Dia juga satu-satunya murid yang beragama Islam di dalam kelas. Bedanya dia dengan Muhamad adalah, dia berasal dari luar Maluku dan dia bersekolah di Ambon karena orang tuanya berpindah tempat kerja. Dia anak “orang kaya” dan agak sombong tetapi berteman baik, sehingga teman-teman di dalam kelas juga menyukai dia. Saya sempat ingin mengenal dia lebih dekat lagi, tetapi pada saat itu, karena saya tergolong murid yang lebih suka berteman dengan orang yang “tidak kaya”, sehingga saya tidak terlalu dekat dengan dia. Mungkin juga karena sifat agak sombongnya tadi. Tapi saya sempat berdiskusi kecil-kecilan dengan dia tentang tujuan dari agama Kristen dan agama Islam. Namun dia tidak terlalu memikirkan tentang hal itu, bahkan dia menghindar, mungkin juga dia tidak suka kepada saya. Memang pada saat itu saya bukan murid yang populer dan tergolong tidak terlalu aktif. Dan pada saat itu, menurut saya Rifai hanya ingin berteman dengan orang-orang yang populer-jujur ini subjektifitas saya. Sebenarnnya tujuan saya untuk berkenalan dengan Muhamad dan Rifai adalah saya hanya ingin mengenal tentang Islam. Sesuatu yang “asing” itu.

Lulus dari SMPN 6 Ambon, saya melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Kejuruan Persatuan Guru Republik Indonesia Ambon (SMK PGRI Ambon). SMK PGRI Ambon bukanlah sekolah yang populer di kalangan masyarakat maupun siswa-siswi di kota Ambon. Sekolah itu dianggap kurang berkualitas oleh pandangan masyarakat. Tetapi karena suatu alasan, sehingga saya “terpaksa” harus bersekolah di situ. Pertama kali masuk sekolah ini, saya tidak melihat adanya murid yang beragama Islam. Setelah lulus Masa Orientasi Siswa dan mulai melakukan kegiatan belajar barulah saya mengenal seorang kakak kelas dan seorang Ibu Guru IPS yang beragama Islam. Saya sudah lupa nama kakak kelas itu, dan yang saya ingat dia begitu populer di kalangan siswa-siswi dan para guru. Selain karena hanya dia murid satu-satunya beragama Islam di sekolah, dia juga populer karena karakter dia yang terbuka dan begitu tenang. Sedangkan Ibu Guru IPS saya bernama Ibu Endang. Ibu Endang berasal dari pulau Jawa, dia adalah sosok guru yang begitu terbuka dan ramah, dia juga sudah menetap di kota Ambon dalam waktu yang lama. Salah satu hal yang paling saya ingat dari Ibu Endang adalah dia selalu mengingatkan kami harus seperti “padi, jika semakin berisi, semakin menunduk” hanya saja saya lupa katakan kepada beliau, jikalau saya tidak mau seperti padi, tapi seperti “Pohon Sagu” sekalipun diluar kasar tetapi didalamnya begitu halus dan putih. Itulah kenapa kami Nyong Ambon, “sekalipun kulit kami berwarna hitam, perilaku kami kasar, tetapi di dalam diri (hati), kami begitu halus dan putih”. Selain itu ada hal yang begitu membuat saya salut dengan Ibu Endang, pada saat bulan puasa beliau tidak pernah mengeluh meskipun kami makan dan minum di hadapan beliau. Keterbukaan, itulah yang selalu membuat saya mengingat tentang beliau. Meskipun begitu, rasa penasaran saya tentang sesuatu yang “asing” itu belum terpenuhi saat bersekolah di SMK PGRI Ambon.

Sementara masih merasa penasaran dengan dengan hal “asing” itu. Terjadilah hal yang paling krusial di tahun 2011, bukan karena saya pertama kali jatuh cinta, bukan. Tetapi karena perdamaian - fisik[1] - yang dibangun dengan susah payah oleh masyarakat Maluku khsusunya kota Ambon sedang terancam. Di bulan September, tepat tanggal 11 September, saya sementara duduk nongkrong bersama teman-teman. Tiba-tiba kami mendengar kabar, “Waringin[2] telah terbakar”. Kerusuhan di Kota Ambon terjadi? Hal ini menjadi breaking news dibanyak stasiun televisi dan radio.  Kami semua mulai tidak tenang, rasa takut mulai menyerang. Kami merasa tidak tenang bukan hanya karena “masa lalu” tetapi juga karena daerah tempat tinggal kami adalah salah satu daerah perbatasan antara masyarakat Islam dan masyarakat Kristen[3]. Sesaat saya pusing, takut, dendam, dan saya tidak tenang!

Beberapa hari setelah kejadian itu, saya sempat ke Sekolah, saya bertemu dengan teman-teman, tetapi tidak banyak seperti biasanya, saya juga bertemu dengan Ibu Endang. Kami semua diliburkan sampai situasi kembali kondusif. Dalam perjalanan pulang saya memandang penuh “amarah” kepada para tentara, dan juga kepada mereka yang “asing” itu. Utamanya mereka yang menggunakan pakaian “putih-putih hijau.” Tetapi yang membuat saya bingung adalah, tidak ada “amarah” saat saya menatap Ibu Endang.

Di rumah, kami mulai mengungsingkan beberapa barang-barang kami di rumah saudara di Kayu Tiga[4]. Kemudian ketika malam datang jam jaga diberlakukan. Saya tidak pernah tidur dengan tenang. Di saat situasi sudah sangat tegang, banyak orang yang sudah berjaga di Gereja Petra[5]. Mereka berjaga dengan menggunakan parang, tombak, dan alat apa saja yang dipakai untuk melindungi diri. Bahkan ada banyak pemuda yang datang dari daerah (Kristen) lain ke daerah Karang Panjang dengan membawa senapan angin, parang, untuk ”membantu” jika terjadi sesuatu. Sementara karena saya masih tergolong “anak kecil”, jadi saya dilarang untuk bergabung dan harus tetap tinggal di rumah. Bukan berarti saat di rumah saya tidak memilik alat pelindung, saya ingat betul dengan parang sepanjang tangan, yang saya asah dan kemudian saya tidur bersamanya.

Tatapan asing itu menjadi lebih asing.

Setiap hari selama masa tegang, kami selalu menonton berita di televisi, membaca koran, mendengarkan radio, menjelajah media sosial hanya untuk mengetahui perkembangan yang terjadi. Dan yang membuat saya lebih tidak tenang lagi karena banyak media yang menggunakan istilah kerusuhan[6] dalam pemberitaannya ditambah lagi dengan kabar-kabar angin “katanya di sana sudah terbakar, katanya di situ sudah baku tembak, dll”, yang tidak jelas. Padahal setelah dikonfirmasi tidak terjadi apa-apa.
Di samping pemberitaan yang “buruk” oleh media masa, ada juga pemberitaan tentang pentingnya hidup damai di kota Ambon. Misalnya di media Molluca TV, setiap hari selalu diputar video klip dari beberapa musisi muda Maluku yang bercerita tentang perdamaian maluku. Dalam waktu yang singkat, banyak lagu-lagu, khususnya genre Rap/Hip-hop, yang diciptakan sebagai bentuk kesedihan, kebahagiaan, dan perjuangan untuk perdamaian yang telah terjadi di Maluku. Salah satu lagu yang paling terkenal saat itu adalah “Sampe Jua (Tribute to Ambon)” yang diciptakan dan dinyanyikan oleh Cidade de Amboino Crew[7]. Jujur sampai sekarang, setiap kali saya mendengarkan lagu ini, mata saya selalu merah berair. “... ingatang katong samua basudara gandong, hidup pela deng gandong harus tatanam dalam jantong... sio basudara e, sampe jua e, jang bakalai, itu seng bae, sio basudara katong satu gandong e, hidop damai itu labe bae (ingat kita semua bersaudara, hidup pela gandong[8] harus tertanam di dalam jantung ... wahai basudara, stop sudah, jangan berkelahi, itu tidak baik, wahai basudara kita satu gandong, hidup damai itu lebih baik)” itu adalah penggalan lirik dari lagu Sampe Jua yang begitu menyentuh hati saya. Lagu ini juga membuat saya lumayan tenang pada saat itu. Selain itu juga, banyak cerita-cerita tentang tokoh-tokoh yang tetap melestarikan perdamaian di situasi ketegangan konflik. Misalnya seorang Guru SD beragama Kristen yang tetap pergi mengajar di Negeri Hitu yang notabennya beragama Islam[9]. Selain itu juga ada cerita tentang Kepala Rukun Tetangga di Ahuru yang datang ke daerah Karang Panjang untuk mengatakan kepada masyarakat agar jangan percaya pada isu-isu yang beredar. Sungguh cerita-cerita seperti ini membuat hati saya menjadi lebih tenang. Setelah beberapa minggu berlalu, apa yang diperkirakan akan terjadi, yakni kerusuhan, tidak terjadi. Syukurlah kota Ambon sudah kembali kondusif dan saya kembali lagi ke dalam rutinitas bersama rasa penasaran itu.
Tahun kedua saya bersekolah di tingkat menengah atas, saya lewati dengan begitu-begitu saja. Tetapi pelestarian perdamaian tidak berhenti. Lewat tulisan, seminar, dan lewat musik. Pengaruh musik khusunya Rap/Hip-hop begitu kuat bagi kehidupan anak muda Ambon pada saat itu. Pesan-pesan persatuan dan perdamaian yang disampaikan dalam setiap liriknya menjadi sebuah  gaya hidup bagi kami. Inilah peran kesenian dalam menyampaikan perdamaian.
Di bulan Desember tahun 2012 yang mana adalah bulan penuh keceriaan bagi kami masyarakat (Kristen) Ambon. Bulan ini juga memberikan hal krusial dalam hidup saya. Tidak hanya karena Natal tetapi di bulan ini saya juga akan kembali ke kampung asal saya Kamarian untuk pelantikan raja terpilih. Untuk informasi, saya jarang sekali pulang ke Kamarian sehingga ini adalah kesempatan yang menarik untuk saya. Saya dan kakak saya berangkat menuju Kamarian pada tanggal 23 Desember 2012. Kami tiba di Kamarian pada sore harinya. Sesampai di Kamarian saya sangat senang dan juga kaget. Hal yang asing itu begitu banyak di dalam Kampung. Maksud saya orang Islam sangat banyak hampir seribuan orang yang berada di dalam Kamarian. Saya tercengang karena Kamarian adalah Negeri yang penduduknya mayoritas Kristen namun banyak orang Islam berada didalamnya pada saat itu. Karena pelantikan Raja Kamarian  dilakukan pada tanggal 28 Desember dan saya masih mempunyai lima hari untuk belajar tentang hal yang asing itu. Setelah Natal berlalu, pada tanggal 27 Desember orang-orang Islam datang lebih banyak lagi, karena besoknya adalah pelantikan raja. Bukan cuma orang Islam ada juga mereka dari Noaulu. Saya bertanya banyak sekali mengapa mereka datang, bagaimana hubungan kami dengan mereka, dan masih banyak lagi. Saya kemudian diceritakan oleh teman-teman, orang tua, bahkan anak kecil tentang mereka. Ternyata mereka berasal dari Negeri Sepa dan Liang yang penduduknya beragama Islam. Kalau Sepa adalah pela[10] dengan Kamarian. Hubungan ini sudah terjalin begitu lama dan dilestarikan sampai sekarang. Sementara dari Negeri Liang terutama marga Tuni adalah saudara kami dari marga Kainama. Dulunya mereka sempat keluar dari Kamarian dan akhirnya menetap di Liang-Pulau Ambon sampai sekarang. Sementara Noaulu adalah suku yang masih primitif yang memilik hubungan gandong dengan Kamarian, mereka juga tetap mempertahankan agama mereka yakni Noaulu. Sejenak saya berpikir, di dalam darah saya mengalir darah Islam, Kristen, bahkan Noaulu. Dan ada satu hal yang membuat saya begitu terkesan. Salah seorang teman laki-laki saya berkata: “Jangan pernah berpikir kotor jika melihat perempuan Sepa dan Liang atau adat yang akan menghukum kamu”, bahkan sampai hal terkecil pun adat telah mengaturnya. Mungkin hal ini biasa saja, tetapi bagi saya yang dibesarlam dalam konflik berdarah, ini adalah satu hal yang luar biasa. Kita tak akan pernah melihat kehidupan seperti ini di Kota Ambon yang mana masyarakat Islam dapat memasuki wilayah masyarakat Kristen dengan rasa tenang tanpa ada prasangka dan sebaliknya juga. Sesuatu yang asing itu sudah tidak menjadi asing lagi.
Setelah pulang dari Kamarian saya berpikir jika saya membenci atau menganggap asing mereka yang beragama Islam, maka saya juga membenci saudara-saudara saya sendiri. Perubahan besar terjadi dalam kehidupan saya. Pernah suatu waktu teman saya mau mengenalkan saya dengan seorang perempuan berhijab, saya menolak untuk bersalaman dengan perempuan itu, hanya karena bukan muhrim saya. Rasa penasaran saya menjadi rasa ingin mengenal tanpa prasangka. Saya akhirnya mengerti mengapa di lagu Sampe Jua ditekankan untuk “hidup pela-gandong harus tertanam dalam jantung”, karena dengan memahami makna dari pela-gandong tidak ada prasangka sama sekali, persaudaraan dan persatuan adalah kunci utama bagi suatu perubahan.
Singkat cerita saya lulus SMK dan memasuki dunia perguruan tinggi. Fakultas Hukum Universitas Pattimura, adalah tempat saya melanjutkan pendidikan. Semenjak memasuki kampus saya mulai berkenalan dengan banyak orang. Terutama mereka yang beragama Islam. Saya begitu senang saat mengenal mahasiswa Muslim. Kami kemudian melakukan pertemuan dengan para senior kampus, khusunya untuk persiapan OSPEK.
Akibat dari konflik juga terbawa sampai di dalam dunia kampus. Di minggu-minggu awal pertemuan mahasiswa baru dengan para senior di kampus telah terjadi konflik. Saya masih ingat senior (Kristen) mengatakan untuk kami agar menjaga jarak dengan teman-teman Muslim. Pernah di dalam ruangan Aula para senior yang Kristen dan Muslim sudah melakukan tindakan saling memukul. Saya kemudian berkata pada salah satu teman Muslim, Muhamad Azis, agar jangan mengikuti mereka, “karena kita membayar dua juta (uang kuliah) bukan untuk baku pukul”. Pertikaian pun terhenti saat Dekan Fakultas Hukum pada saat itu memasuki ruangan Aula. Belakangan baru saya mengetahui penyebab konflik tersebut hanya karena Panitia Ospek pada saat itu mayoritasnya berasal dari GMKI sehingga teman-teman HMI tidak menyetujui hal itu. Memang pergerakan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia dan Himpunan Mahasiswa Islam begitu kuat dalam Fakultas Hukum. Sehingga terkadang mereka saling berselisih. Bukan berarti GMKI dan HMI itu tidak baik, oknum-oknum didalamnya yang tidak dewasa.  Dan saya bersyukur telah memahami makna pela-gandong sehingga tidak gampang terbawa arus yang salah. Meskipun pengalaman buruk di minggu-minggu awal perkuliahan, saya tetap menjaga hubungan baik dengan mahasiswa Muslim. Bahkan saya cenderung lebih dekat dengan mereka, sampai ada teman (Kristen) saya yang mengatakan “kamu sudah mau mualaf?”
Saya sadar mereka yang masih mengurung diri dalam prasangka dan yang tidak mau memahami arti pela-gandong masih sangat banyak. Namun saya ingat sekali dengan seorang teman saya di komunitas Non Violent Study Circles (NVSC) berkata “perasaan adalah sesuatu yang menular, tinggal memilih apa yang ingin kita tularkan.” Untuk itu saya berkomitmen untuk menularkan(perasaan) perdamaian lewat karya atau apa saja dengan cara yang kreatif. Saya sempat menulis tentang perjalanan singkat untuk memutus prasangka[11] akibat konflik. Perjalan ini saya lakukan untuk membuktikan bahwa perdamaian itu alami.  Oh iya, NVSC adalah komunitas yang bertujuan untuk “sustaining peace from campus to comunity” saya dan teman-teman di NVSC dan berbagai komunitas lainnya di Ambon telah sadar bahwa untuk menghilangkan prasangaka akibat konflik memang tidak gampang. Tetapi dengan saling mengenal dan menerima serta memaknai adat pela-gandong dengan begitu perubahan akan terjadi. Memang membutuhkan waktu yang lama, itulah yang membuat perjuangan menjadi menarik.

Ambon, 8 Agustus 2018

[1] Sengaja saya menggunakan istilah perdamaian fisik.
[2] Waringin adalah kawasan yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas penyebab bentrokan itu terjadi, terlalu banyak versi yang membuat kontrovesi.
[3] Sebenarnnya saya tidak mau memakai bahasa “perbatasan” karena memang ada beberap warga Muslim yang tinggal di daerah Karang Panjang (tempat saya tinggal) dan juga ada beberapa warga Kristen yang tinggal di Ahuru (daerah di samping Karang Panjang).
[4] Kayu Tiga adalah daerah yang penduduknya mayoritas Kristen.
[5] Lokasi gereja Petra tepat di daerah perbatasan antara penduduk Muslim dan Penduduk Kristen, dulunya gereja ini sempat dibakar tetapi sekarang sudah dibangun kembali.
[6] Istilah kerusuhan dipakai dalam beberapa media masa, dan menurut saya itu tidak tepat. Harusnya dipakai istilah bentrokan, karena “kerusuhan” bagi masyarakat Maluku khusunya kota Ambon berarti konflik antara Muslim dan Kristen di seluruh kota Ambon seperti terjadi di tahun 1999.
[8] Pela gandong adalah ada istiadat di Maluku tentang hubungan saudara antar Negeri (desa) yang terjalin dari zaman dulu. Selengkapnya bisa dilihat di https://id.wikipedia.org/wiki/Pela

No comments:

Post a Comment