Kampungan


Dalam cafe aku duduk menikmati secangkir cappucino dingin, dan dua buah roti. Sambil mengerjakan pekerjaanku yang seakan tak habis-habis, hatiku mulai teriris. Bukan karena roti, air dingin, atau pekerjaan. Tetapi, di luar sana ada seorang muda duduk sambil menatap ke arah jalan. Tatapannya seakan kosong, dan penuh harap-harap cemas. Si pemuda itu tuna wicara. Dari yang kusimak, dia baru saja dari kampung ke kota untuk mencari kerja. Sayangnya, sesampai di kota dia belum mendapat kerja. Sembari kutuliskan ini, dia diam-diam membuang pandangan ke arahku. Ke arah roti dan minumanku. Hatiku teriris. Tapi si pemuda itu menarik. Dia berpakaian sangat stylish. Di telinganya juga di pakai giwang. Di kepalanya dia pakai topi , menutupi rambut panjangnya yang manis. 


Tapi hatiku masih teriris. Hidup begitu miris, bagi mereka yang terbatas. Hidup begitu manis, bagi mereka yang berani melanggar batas. 

No comments:

Post a Comment